Skandal Watergate merupakan kasus penting di Amerika Serikat tahun 1970-an. Skandal tersebut menjadi bukti adanya upaya mencari kekuasaan dengan cara-cara yang merusak demokrasi. Di Indonesia hal-hal semacam itu sebenarnya lebih sering dan lebih parah, akan tetapi terjadi dan berlalu begitu saja.
Memasuki tahun 1970-an, Amerika Serikat banyak mengalami perubahan sosial dan politik yang dipengaruhi oleh Perang Vietnam dan Perang Dingin dengan Uni Soviet. Sebelumnya rakyat Amerika Serikat sangat percaya pada pemerintah yang dihasilkan oleh sistem demokrasinya.
Richard Nixon terpilih sebagai Presiden pada tahun 1968, kemudian pada pemilihan berikutnya yakni tahun 1972 ia mencalonkan kembali untuk masa jabatan yang ke dua. Didorong oleh ambisi dengan menggunakan kekuasaan dan sumber daya yang dimiliki, dilakukanlah upaya-upaya untuk memastikan kemenangannya.
Salah satu cara yang digunakan adalah usaha mencari informasi yang akan digunakan untuk menjatuhkan lawannya yang dikenal sebagai ‘black campaign’ atau kampanye hitam. Pencarian informasi tersebut antara lain dengan percobaan pencurian dokumen.
Pada suatu malam, 17 Juni 1972, tertangkaplah lima orang yang berusaha mencuri dokumen di kantor Komite Nasional Demokrat (DNC) di hotel Watergate Washington. Administrasi dan informasi di Amerika Serikat lebih disiplin dan rapi sehingga sering informasi penting hanya ada di dokumen tertentu, hal ini berbeda dengan di Indonesia di mana informasi dapat tersebar ke mana-mana sehingga sumber-sumber gosip kadang lebih lengkap dan akurat.
Awalnya kasus tersebut dianggap sepele, akan tetapi ada 2 jurnalis The Washington Post yang penasaran dan mencoba menggali lebih jauh. Berbulan-bulan setelah persitiwa itu tidak ada satupun media yang membahas hal itu kecuali The Washington Post. Media itu terus mengulik-ulik dan melakukan investigasi lebih banyak.
Hasil investigasi mengarah kepada keterkaitan usaha pencurian informasi itu dengan pencarian bahan untuk kampanye hitam oleh team kampanye Nixon. Kasus tersebut semakin menarik perhatian banyak pihak dan menjadi topik yang ramai. Akhirnya lembaga penyelidik FBI dan Parlemen secara aktif melibatkan diri, antara lain dengan dibukanya rekaman rapat-rapat di istana Oval Office dan wacana pemakzulan. Ada indikasi kuat bahwa pihak istana berusaha menghentikan penyelidikan oleh FBI dengan intervensi melalui CIA. Para pencuri Watergate yang tertangkap itu dirayu dengan uang agar mengaku bahwa percobaan pencurian untuk memperoleh informasi tersebut tidak ada hubungannya dengan team kampanye Nixon.
Usaha dari banyak pihak, baik pers, FBI, dan Parlemen, menyebabkan tekanan yang sangat besar kepada Nixon. Akhirnya Presiden Richard Nixon mengumumkan pengunduran diri pada tanggal 8 Agustus 1974 dan Wakil Presiden Gerald Ford menggantikan posisinya sebagai Presiden.
Bagaimana dengan skandal ‘Watergate’ di Indonesia? Sebenarnya penyimpangan, yang serupa tapi tak sama, banyak dilakukan di Indonesia dengan cara yang berbeda. Bahkan di Indonesia modusnya lebih jauh lagi, yaitu dengan rekayasa peraturan atau perundang-undangan. Selain itu juga dilakukan dengan pembelokan pendanaan untuk kampanye terselubung, settingan-settingan, dan praktik-praktik curang lainnya. Dapat dikatakan modus kecurangan di Indonesia lebih luas dan kronis.
Ironisnya lembaga-lembaga negara bahkan Parlemen dengan ratusan pejabat didalamnya, pada umumnya kompak menyetujui peraturan atau perundangan yang menguntungkan pihak tertentu saja. Hal itu didorong oleh ketakutan kehilangan posisi atau jabatan dan kemungkinan ada uang di belakangnya. Mereka memilih untuk bergabung ke dalam golongan elit sebagai pengelola atau aparatur negara, menciptakan kasta sosial yang lebih tinggi dari rakyat jelata yang hidup di luar sistem. Berbeda pada saat pusat kekuasaan mulai lemah, pejabat di lembaga-lembaga negara tersebut menjadi banyak yang bersuara lantang mengkritisi penyelewengan yang ada.
Dengan kondisi di atas, ditambah dengan masyarakat yang mudah lupa dan memaafkan, maka akan sulit bagi Indonesia untuk mendapatkan hikmah dari banyaknya ‘Watergate’-‘Watergate’ yang dilakukan oleh para pemimpin yang tidak berhati nurani dan tidak takut dosa. Yang ada hanya akan menjadi lahan empuk bagi oligarki dan kekuatan-kekuatan lain untuk mengambil-alih hak rakyat Indonesia di tanah-airnya sendiri.