34.1 C
Jakarta
Thursday, 19 September 2024
spot_img
HomeIntisariMental Pejabat

Mental Pejabat

Permainan politik pemilu-pilkada 2023-2024 cukup ramai, ditambah dengan langkah lembaga-lembaga negara yang mengubah-ubah aturan sehingga hal yang tidak wajar menjadi sah dan sesuai aturan. Terakhir mengenai perubahan aturan yang diputuskan MA, diubah dengan putusan MK, dan kemudian akan dianulir DPR dengan membuat dan mensahkan undang-undang baru.

Karena rekayasa aturan sudah terjadi berulang-ulang, maka orang bodohpun jadi tahu dan yang sudah tahu menjadi sangat emosi. Teknologi digital dan medsos ikut mendorong tersebarnya informasi mengenai pembodohan yang terjadi. Akhirnya pecah demo-demo masif di berbagai kota di seluruh penjuru negeri, ini sudah pada titik di mana jika diteruskan maka kejadian mirip 1998 bisa terjadi. Baru di sinilah DPR melunak dan mendengarkan protes rakyat, karena memang tidak ada pilihan lain, jika tidak ingin kejadian seperti 1998 terjadi.

Masih jelas teringat bagaimana kontroversi pasal-pasal UU ciptaker, UU KPK, keputusan MK untuk syarat cawapres, dan peraturan lain yang ramai ditentang dengan demo-demo. Akan tetapi demo-demo yang sampai berdarah-darah itu tidak didengarkan, lembaga-lembaga yang di dalamnya ada ratusan pejabat secara kompak tetap menggolkan aturan yang dianggap merugikan negara dan rakyat.

Kejanggalan aturan-aturan itu terletak pada pasal-pasal yang dianggap menguntungkan oligarki dan pemilik kapital, tetapi menimbulkan kerugian yang besar pada negara dan rakyat. Kemudian juga dibuat aturan yang menguntungkan kroni pejabat untuk pemilu dan pilkada. Semuanya dipertontonkan secara angkuh dan arogan tanpa menggubris protes dan demo masyarakat.

Teorinya, antar lembaga-lembaga negara akan saling mengontrol, tetapi dalam prakteknya mereka semua justru kompak ibarat komplotan yang tidak menggubris protes dan keluhan rakyat. Seperti peribahasa “biarpun anjing menggonggong kafilah tetap berlalu” biarpun banyak protes dan demo akan tetapi aturan itu gol juga pada akhirnya.

Apa yang terjadi adalah anggota legislatif takut kehilangan jabatannya, mereka tunduk kepada partai bukan tunduk kepada rakyat atau yang mendemo. Partai dapat mengganti seorang anggota perwakilan rakyat jika tidak sesuai dengan partai. Sementara itu petinggi partai diberi jatah jabatan atau menteri oleh presiden. Jabatan menteri dianggap sangat berharga sehingga banyak partai berlomba-lomba untuk mendapatkannya. Kondisi itu membuat petinggi partai tunduk kepada presiden karena takut kehilangan jabatan atau jatah menterinya.

Perkomplotan melahirkan aturan-aturan yang memperburuk kondisi dan makin menjauhkan sistem dari keadilan. Digunakannya intimidasi kasus hukum kepada pejabat yang tidak mau berkomplot misalnya, salah satunya karena disahkannya undang-undang yang memungkinkan presiden mengendalikan KPK.

Di tengah ekonomi yang rapuh, kondisi sosial mendorong gaya hidup konsumtif dan flexing, sehingga aparat tergiur uang dan gratifikasi. Dalam proses rekayasa aturan, oligarki aktif terlibat, terbuka untuk pengguyuran uang dan gratifikasi kepada pejabat dan kroninya. Jika aturan yang buruk bisa disahkan, artinya lembaga-lembaga yang terlibat dengan ratusan pejabat di dalamnya itu bisa dibeli. Lemahnya pejabat-pejabat negara dimanfaatkan dengan baik oleh oligarki dan pemilik kapital, hukum kapitalisme adalah begaimana caranya meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengenal surga dan neraka.

Kesimpulannya adalah negara dan rakyatnya akan tergadaikan dengan murah jika para pejabatnya takut kehilangan jabatan dan mudah dibeli.

Peristiwa

Laporan

Sketsa